We travel, We learn, We sketch: September 2013

Kamis, 26 September 2013

Bersantai di Pulau Weh, Pulau yang Bukan Terbarat di Indonesia ?

PULAU WEH, pulau yang katanya paling barat di Indonesia. Pulau yang di dalamnya terdapat nama Sabang, yang ketika masih sekolah hanya bisa kunyanyikan tanpa kutahu ternyata letaknya adalah di pulau ini. 

Namun, beberapa hari sesudah perjalananku aku menemukan sesuatu di atlas, yaitu ketika kutarik garis lurus garis paling barat Negara Indonesia. Ternyata pulau terbarat di Indonesia bukan Pulau Weh, melainkan pulau yang terletak di barat laut Pulau Weh, pulau yang bernama 'Breueh' (mohon koreksi jika salah, tak banyak yang kutahu tentang geografi). 

Well, terlepas dari hal tersebut keindahan alami pantainya bisa disejajarkan dengan pantai-pantai eksotis Nusa Tenggara Barat. Bukannya tertarik untuk menyeket ‘Tugu Nol Barat Indonesia’, keindahan pantainya, atau makhluk-makhluk indah dalam lautnya, malah nyeket kakiku sendiri  :), sambil bersantai-santai di atas buaian, dibelai hembusan angin sepoi-sepoi, mendengar nyanyian air laut jernih di bawah yang menghempas batu karang...


Kamis, 19 September 2013

Air Terjun Sipisopiso

Hari menjelang gelap, barulah minibusku datang, setelah pencarian dan penantian panjang karena hari libur panjang Lebaran. Penumpang didesak-desakkan di kursi penumpang sampai tidak bisa menggerakkan bokong seinchi pun, aroma keringat, rokok, parfum murahan, bercampuraduk. Karena hari yang sudah malam kuputuskan untuk menginap di Berastagi, sambil memikirkan cara besok untuk pergi kembali ke arah selatan mengunjungi air terjun Sipisopiso.  




Beginilah kira-kira Air Terjun Sipiso kalau kuambil dari tempat duduk di pinggir pagar taman di bagian atas, sepertinya tidak ada bedanya dengan air terjun yang lainnya (hehe..meskipun dikatakan air terjun tertinggi di Indonesia), tapi tak apalah mengingat perjuangannya ke tempat ini :). Air terjun ini jatuh ke bagian utara dari Danau Toba. Sebenarnya kita bisa turun ke agak ke bawah lagi lebih dekat melihat air terjun ini. Namun, entah mengapa aku yang biasanya tertarik sekarang menjadi tidak tertarik melakukan hal semacam ini

Sekilas mengenai Samosir

Samosir merupakan tanah leluhur dari sebagian orang Batak. Meskipun kini, orang Batak banyak tersebar di berbagai kota-kota di Indonesia, mereka tetap tidak melupakan orang tua maupun tanah leluhurnya. Hal tersebut bisa dilihat dari bangunan makam orang tua mereka dengan ukuran besar yang tersebar di tempat ini. Untuk bangunan makam saja, mereka rela menghabiskan puluhan juta belum dengan biaya upacara pemakamannya.  Damanik, orang yang menyewakan motornya padaku mengatakan hal itu sudah menjadi filosofi dari mereka, sejauh apapun mereka pergi untuk menggapai kesuksesan di luar tanah leluhur, mereka harus tetap ingat pada tanah mereka, leluhur mereka, orang tua mereka.



Banyak orang yang menyebut Samosir pulau, tapi sebenarnya bukanlah pulau karena dari sisi lain Samosir dihubungkan ke daratan Sumatra oleh tanah genting di daerah Pangururan. Melanjutkan perjalanan ke arah Air Terjun Sipisopiso dan Berastagi, tidak mengambil jalur kembali ke Parapat, kuputuskan untuk melewati Pangururan.  

Tapi yang namanya perjalanan darat, dengan kondisi kendaraan umum ‘khas Indonesia’ , tentu tidak semudah kita membaca peta ataupun petunjuk perjalanan ataupun catatan perjalanan seseorang di internet, dari sini..., kita ambil kendaraan ini..., jurusan kesini..., trus turun disini..., trus lanjut lagi disini...  Terkadang karena suatu hal kendaraan yang kita harapkan untuk mencapai tujuan yang tertulis di petunjuk tersebut tidak sesuai, atau bahkan sudah tidak ada. HAHAHA itulah yang kadang juga bikin asyik :). 

Mengambil pengalaman kemarin tidak kusarankan untuk orang yang menginginkan kenyamanan liburan untuk memilih jalur ini dengan kendaraan umum angkot dan minibus, di musim libur panjang yang seperti kulakukan kemarin.

Rabu, 18 September 2013

Simanindo dan Tarian Tradisional Batak


Sampailah aku di HutaBolon Simanindo. HUTA adalah sebutan untuk kampung batak yang dikelilingi benteng hidup dari tanaman bambu dan hanya memiliki satu pintu gerbang.  BOLON berarti rumah Raja. Di tengah halaman terdapat BOROTAN (tonggak) yang dihiasi daun-daunan yang melambangkan pohon suci alias beringin dengan kerbau yang diikat padanya. 



HORAS! HORAS! Berkali-kali kata itu disebut. Dimulai dari mantra-mantra kepada Dewata,  tarian-tarian dengan gerakan layaknya penyembelihan kerbau dilakukan, ajakan menari melingkari halaman bersama kepada para tamu undangan, sampai ditutup dengan boneka SIGALEGALE yang alkisah dibuat untuk meringankan kesedihan raja yang ditinggal anak lelakinya yang meninggal dunia.

Daaaaaan....... kini, pesta adat MANGALAHAT HORBO dirangkum menjadi satu pertunjukan tarian, suguhan bagi para wisatawan, 2x setiap hari, dengan penjelasan tiap ‘scene’ yang bisa kita lihat di lembaran petunjuk!

Candles on the Top of 'Parapat' Cake

Dinginnya udara Parapat membangunkanku , kulihat ponsel ku masih menunjukkan jam 3 pagi. Aku mencoba untuk tetap sibuk mengerjakan sesuatu di dalam ruangan ini, karena mencoba untuk tidur kembali pun percuma. Kudengar mulai ada suara beberapa orang di luar, kubuka pintu..OWW ternyata suara orang yang mulai menggelar dagangannya. Jika pagi, halaman lebar di depan losmen ini merupakan tempat jual beli dengan suasana seperti banyak pasar tradisional di Indonesia. 

Sambil menunggu 2 kawan perjalanan dari Kanada dan Inggris yang baru kukenal semalam bangun, aku naik turun losmen, melihat-lihat sekitar, memotret, mencoba lagi untuk tetap sibuk. Sampai aku kembali duduk di sofa ‘buluk ‘di sudut beranda yang semalam kami gunakan untuk bercerita ‘ngalor ngidul’, dari soal perjalanan, keluarga, sampai agama. 



 Parapat adalah desa terakhir sebelum menyeberang ke (Pulau ) Samosir. Memandang dari sofa ini, Parapat nampak seperti roti tart, dengan kumpulan rumah penduduk ala kampung yang kurang lebih seragam seperti roti dasaran-nya, dengan bangunan hotel yang mencolok seperti ‘hiasan dan lilin’ bagi roti di bawahnya-nya :) .


Istana Maimoon Medan

Jam menunjukkan jam 6 pagi, bergegas kumasukkan semua barangku ke ransel, tidak sabar untuk menjelajahi kota ini, meninggalkan kamar tidur yang tidak “menginspirasi” ini. Aku turun melalui tangga sempit losmen ini, kulihat resepsionis (baca: penjaga) tidak ada di meja nya, mungkin masih tidur, kuletakkan saja kunci kamar rak plastik kecil yang ada di atas mejanya.


Tak jauh dari tempatku menginap merupakan Istana Maimoon, yang dibangun pada akhir abad 19, bergaya campuran Melayu, India Islam, Italia. Pintu masuk belum terbuka ketika aku sampai di tempat ini, sambil menunggu buka kukelilingi bangunan ini. Ternyata di belakang bangunan ini masih digunakan sebagai tempat tinggal dari keluarga dari Sultan Deli. Tepat jam 8, pintu masuk ke dalam bangunan istana dibuka, karpet merah membentang mengarahkan pengunjung lurus ke arah singgasana raja.


The Beginning of Sumut & Aceh's Journey (Tjong A Fie)


Memiliki status sebagai karyawan swasta dengan keterbatasan hari libur dalam setahun,  membuat waktu liburan terasa begitu sangat berharga. Sehingga begitu mengetahui ada hari libur, menjelang Hari Raya Lebaran, tentu aku berpikir bahwa waktu ini tidak boleh kusia-siakan.  8 hari perjalanan, kumulai dari Pekanbaru-Medan dengan jalur udara, sedangkan sisanya kulakukan dengan perjalanan darat.

Menginjakkan kaki pertama kali di kota Medan, di daerah Kesawan, mengingatkanku akan beberapa daerah di kota-kota besar Indonesia (Kotatua Jakarta, Kota Lama Semarang, sekitar Jembatan Merah Surabaya). Bangunan-bangunan megah kolonial yang berdiri di sepanjang jalan, menandakan fungsinya yang begitu penting di masa lalu. Namun kini,  sebagian besar bangunan terlihat, lusuh, tak terawat.


Bangunan yang masih terawat disana, salah satunya adalah Mansion Tjong A Fie yang  merupakan tempat tinggal Tjong A Fie, pengusaha sukses di abad 19, sekaligus filantropis, yang memulai usahanya dari seorang perantau yang tidak kaya, sampai bisa menjalin hubungan dengan keluarga besar Sultan Deli, bahkan penguasa kolonial Belanda. Bangunan yang dibangun pada tahun 1860 ini memiliki perpaduan antara gaya Tionghoa dan juga Eropa.

Bagian menarik dari rumah ini menurutku adalah bagian tengah dari bangunan ini yang dibiarkan tanpa atap, mengingatkan saya pada film-film kungfu mandarin yang gemar sekali saya lihat ketika saya masih SD, dikatakan hal ini dipercayai agar rezeki/ energi baik/ chi bisa terkumpul di dalam rumah.

Selain itu, tempat pemujaan terhadap dewi Kwan Im dan leluhur juga terdapat di dalam bangunan ini yang menandakan bahwa pemiliknya memiliki kepercayaan Kong Hu Cu yang kala itu dianut oleh mayoritas orang Tiongkok. Sedangkan, perkakas rumah tangga yang ada di dalam mansion ini banyak yang diimpor dari Eropa, seperti ranjang tidur dari Tjong A Fie yang berasal dari Yunani, meja tamu dari pualam, kemudian beberapa rak buku yang didalamnya memuat koleksi novel klasik eropa anaknya.