We travel, We learn, We sketch: Juni 2014

Sabtu, 14 Juni 2014

Pantai Kapo-Kapo, Sisi Lain dari Pulau Cubadak "Yang Populer " itu



Ketika mendengar nama Cubadak, pasti dari teman-teman pembaca semua banyak yang tahu  tentang pulau dengan pantai indah yang dikelola secara baik oleh warga negara Italia, yang terkenal bahkan sampai mancanegara. Namun, bagaimana jika aku menyebutkan nama Pantai Kapokapo? Mungkin teman-teman belum pernah mendengarnya. Ya, bahkan kedatanganku ke pantai ini secara tidak disengaja karena rencana untuk mengunjungi Pulau Cubadak yang tersohor itu gagal, terkendala oleh karena peraturan baru yang mewajibkan pengunjung untuk paling tidak membayar biaya menginap selama 2 malam di pulau tersebut. Sekedar info, ketika saya berniat kesana di bulan Februari 2014, setelah bertanya pada pihak pengelola, biaya termurah untuk mengunjungi pulau tersebut (harga 2 malam menginap) adalah sekitar 2 jutaan rupiah. Padahal beberapa tahun lalu, kita bisa mengunjungi pulau tersebut hanya dengan “one day tour” tentu dengan biaya lebih murah.  Setelah merundingkan di pelabuhan bersama teman-teman atas pertimbangan waktu libur yang kurang dari 2 hari dengan berat hati kami berencana untuk merubah tujuan liburan kami.

Setelah temanku bercakap-cakap dengan bahasa Minang dengan nakhkoda setempat, menjelaskan bahwa tujuan kami adalah mencari tempat untuk snorkeling, lalu dia menyarankan kami untuk pergi ke Pulau Kapokapo (pantai lebih tepatnya -baru kuketahui setelah pulang, kuperiksa di Google Map-). Di tengah perjalanan dengan perahu kayu bermotor, kami ditunjukkan pelabuhan Cubadak Paradiso Village yang tersohor itu. Kemudian perahu memasuki jalur yang lebih sempit (semacam teluk) dengan deretan pohon mangrove di sekitarnya. 


Tak lama, nampak daratan di depan kami dengan sedikit rumah kayu semi permanen. Desa Kapo-Kapo demikian tempat ini disebut, terletak di Pulau yang sama dengan Resort Cubadak yang terkenal itu. Namun, tidak demikian halnya dengan desa ini, tidak mewah, rumah mereka tidak nampak indah, tidak banyak aktivitas yang dilakukan penduduk yang sedikit itu. Terdapat beberapa kerbau yang melintas sepanjang perjalanan kami menuju pantai yang akan ditunjukkan nakhkoda kapal, sehingga temanku nyeletuk ,”ini sih namanya Pulau Kabao-Kabao (kerbau dalam bahasa Minang) bukan Kapo-Kapo.”

Berjalan kaki sekitar 15 menit, sampailah kami di pantai yang nampaknya jarang dikunjungi wisatawan ini, berpasir putih, nyiur kuning melambai, air yang bening, namun tak nampak banyak hewan laut yang nampak di pantai ini. Sehingga kawanku sedikit menyesal karena tidak bisa melakukan snorkeling seperti yang diceritakan nakhkoda kami, lalu mengajakku untuk segera pergi dari pantai ini, meskipun aku sebenarnya menikmati saja siih... 


Kami kembali ke jalur dimana kami masuk tadi, dan memutuskan untuk tidak kembali dengan tangan hampa (kering lebih tepatnya). Kami berenang di perairan yang dikelilingi oleh hutan bakau ini, di bagian jernihnya, letaknya agak menjauhi daratan.

Pulau Cubadak dan rute menuju Pantai Kapokapo melewati jalur hutan mangrove (berdasarkan googlemap)