Tibalah
saatnya meninggalkan Pulau Weh...Aku menaiki Ferry cepat untuk pulang, berbeda
ketika aku menuju ke pulau ini. Tiketnya memiliki harga 3 macam sesuai dengan
lokasi dimana kita duduk. Tiket termurah sudah tidak kudapatkan jadi aku
mendapat tiket kelas 2 (harga tengah-tengah). Ternyata aku mendapat tempat
duduk dengan kursi empuk di dalam yang mungkin nyaman untuk sebagian besar
orang, tapi tidak buatku. Jadi aku memutuskan untuk berkeliling, sampailah aku
di dek paling atas, tiket termurah tanpa atap....NAH INI BARU NYAMAN, aku bisa
melihat langit, air laut, merasakan tiupan angin, sambil bisa membuat sketsa
dengan lebih nyaman.
Mereka adalah penumpang yang
duduk di depanku, dengan latar belakang gerbang masuk pelabuhan Balohan Sabang.
Pada tahun 1970, Sabang merupakan pelabuhan bebas internasional, namun oleh
karena kondisi keamanan dan politik maka pada tahun 1985 statusnya dicabut,
sampai pada tahun 2000 status pelabuhan bebasnya diaktifkan kembali, namun jika
melihat dari kondisinya sekarang tidak
nampak kalau pelabuhan ini merupakan
pelabuhan bebas internasional, entahlah...Bisa jadi karena Pulau Weh ini memiliki
dilema kompleks yang saling tarik-menarik antara tiga kepentingan yakni
konservasi alam, ekonomi, dan faktor militer (ada pangkalan militer yang komplit
di pulau ini, AL, AU, dan AD).
Pada 15 menit pertama perjalanan
begitu tenang, sampai pada 20 menit selanjutnya ombak begitu kencangnya sampai
membasahi sekujur tubuh mereka yang berada di depanku ini, tak ketinggalan juga
kertas gambarku menjadi korban percikan air laut Aceh.