Ketika
mendengar nama Cubadak, pasti dari teman-teman pembaca semua banyak yang tahu tentang pulau dengan pantai indah yang
dikelola secara baik oleh warga negara Italia, yang terkenal bahkan sampai
mancanegara. Namun, bagaimana jika aku menyebutkan nama Pantai Kapokapo?
Mungkin teman-teman belum pernah mendengarnya. Ya, bahkan kedatanganku ke pantai ini
secara tidak disengaja karena rencana untuk mengunjungi Pulau Cubadak yang
tersohor itu gagal, terkendala oleh karena peraturan baru yang mewajibkan
pengunjung untuk paling tidak membayar biaya menginap selama 2 malam di pulau
tersebut. Sekedar info, ketika saya berniat kesana di bulan Februari 2014, setelah
bertanya pada pihak pengelola, biaya termurah untuk mengunjungi pulau tersebut
(harga 2 malam menginap) adalah sekitar 2 jutaan rupiah. Padahal beberapa tahun
lalu, kita bisa mengunjungi pulau tersebut hanya dengan “one day tour” tentu
dengan biaya lebih murah. Setelah merundingkan
di pelabuhan bersama teman-teman atas pertimbangan waktu libur yang kurang dari
2 hari dengan berat hati kami berencana untuk merubah tujuan liburan kami.
Setelah temanku
bercakap-cakap dengan bahasa Minang dengan nakhkoda setempat, menjelaskan bahwa
tujuan kami adalah mencari tempat untuk snorkeling, lalu dia menyarankan kami
untuk pergi ke Pulau Kapokapo (pantai lebih tepatnya -baru kuketahui setelah pulang, kuperiksa di Google Map-). Di
tengah perjalanan dengan perahu kayu bermotor, kami ditunjukkan pelabuhan
Cubadak Paradiso Village yang tersohor itu. Kemudian perahu memasuki jalur yang
lebih sempit (semacam teluk) dengan deretan pohon mangrove di sekitarnya.
Tak lama,
nampak daratan di depan kami dengan sedikit rumah kayu semi permanen. Desa
Kapo-Kapo demikian tempat ini disebut, terletak di Pulau yang sama dengan
Resort Cubadak yang terkenal itu. Namun, tidak demikian halnya dengan desa ini,
tidak mewah, rumah mereka tidak nampak indah, tidak banyak aktivitas yang
dilakukan penduduk yang sedikit itu. Terdapat beberapa kerbau yang melintas
sepanjang perjalanan kami menuju pantai yang akan ditunjukkan nakhkoda kapal,
sehingga temanku nyeletuk ,”ini sih namanya Pulau Kabao-Kabao (kerbau dalam
bahasa Minang) bukan Kapo-Kapo.”
Berjalan kaki sekitar
15 menit, sampailah kami di pantai yang nampaknya jarang dikunjungi wisatawan
ini, berpasir putih, nyiur kuning melambai, air yang bening, namun tak nampak
banyak hewan laut yang nampak di pantai ini. Sehingga kawanku sedikit menyesal karena
tidak bisa melakukan snorkeling seperti yang diceritakan nakhkoda kami, lalu
mengajakku untuk segera pergi dari pantai ini, meskipun aku sebenarnya
menikmati saja siih...
Kami kembali ke
jalur dimana kami masuk tadi, dan memutuskan untuk tidak kembali dengan tangan
hampa (kering lebih tepatnya). Kami berenang di perairan yang dikelilingi oleh
hutan bakau ini, di bagian jernihnya, letaknya agak menjauhi daratan.
Pulau Cubadak dan rute menuju Pantai Kapokapo melewati jalur hutan mangrove (berdasarkan googlemap) |
Sekarang Desa Kapo-kapo sudah terkenal seiring terkenalnya kawasan wisata Mandeh, sudah banyak home stay, dan masyarakatnya juga sudah pandai melayani wisatawan yang berkunjung.
BalasHapus